Egonya tentu masihlah besar. Layaknya anak balita kebanyakan. Seringkali tak mau berbagi. Serasa semua miliknya sendiri. Pun ketika adik pertamanya lahir.
Awalnya Ia excited memyambut kelahiran adiknya. Bolak balik melihat adiknya yang sudah ada di dekat bundanya seraya berkata, "dede mau lihat Teteh, Bunda? Makanya udah lahir ya?" Kata yang seringkali Ia ulang di kelahiran adiknya. Namun makin lama Ia seringkali memeluk bundanya tak mau mengalah dari adiknya. Tak membolehkan bundanya menemani adiknya.
Dalam tiap tingkah egonya tetap saja ada kelembutan hatinya, kebijakan pikirnya. Setiap kali Ia mulai bertingkah merasa memiliki, Ia masih tetap membuka telinganya. Apa yang dikatakan orangtuanya masih bisa Ia terima lalu kerjakan. Meski kadang butuh waktu lebih dari semenit-dua menit. Tapi itulah Ia dengan keluasan hati dan kebijakan pikirnya. Di tubuh anak kecilnya Ia punya empati. Meski masih perlu dilatih.
Ia teramat senang bermain bersama adiknya. Ia selalu berusaha mengemong, terutama ketika Ia tak terganggu kantuk. Ia senang menggendong adiknya. Mengajak adiknya dalam aktivitasnya. Walau kadang Ia pun sesekali hanya mau mainan yang ada dimainkannya sendiri.
Dulu saat Ia baru punya adik, dan adiknya menangis, seringkali Ia terbangun hanya sekedar berkata 'dede nangis ya bunda? Kenapa?' Lalu ia tertidur kembali karena kantuknya tak bisa berkompromi. Benih-benih empatinya sudah Ia dapat.
Anakku bintang, dalam rasa yang Ia punya untuk sekitarnya.
Angin menyentuh lembut dedaunan di pagi itu. Bak seruling, dedaunan pun berdesir mengirimkan irama-irama merdu. Pagi yang indah untuk memulai hari yang lebih indah. Pagi itu tepat seperti yang direncanakan, aku melangkah menuju tempat para sahabatku telah berkumpul. Kami akan pergi ke salahsatu tempat wisata di kawasan bandung.
Comments
Post a Comment