Skip to main content

Kisah Kecil

Angin menyentuh lembut dedaunan di pagi itu. Bak seruling, dedaunan pun berdesir mengirimkan irama-irama merdu. Pagi yang indah untuk memulai hari yang lebih indah. Pagi itu tepat seperti yang direncanakan, aku melangkah menuju tempat para sahabatku telah berkumpul. Kami akan pergi ke salahsatu tempat wisata di kawasan bandung.


Dalam diamku, sahabatku menyapa, mengajakku bermain kata, walau hanya sebatas mencari nama (ternyata). Sebelumnya rencana demi rencana telah dipersiapkan sahabatku. Ia menjadi panitia di acara itu. Rencananya itu memberiku angan akan simfoni yang semakin indah di hari itu, senyum dan rasa yang kuat (ukhuwah) dari semua sahabat.

Setelah beberapa jam duduk akhirnya lokasi wisata itu telah di depan mata. Kami pun berhamburan keluar. Aku mulai melihat sekitar.., sepanjang mata memandang hanya air yang terlihat (walau sebenarnya ada warung-warung kecil di sekitarnya ;p).  Dalam pemandangan yang elok itu ada rasa yang tiba-tiba saja masuk ke relung hatiku, rasa yang sama ketika aku melihat lukisan alam yang lain. Mungkin akan kudefinisikan sebagai rasa rindu pada alam yang elok, udara yang sejuk, juga nyanyian alam.
Sampai di lokasi tak berarti acara akan langsung dimulai, ada jeda yang harus ditunaikan, istirahat untuk sholat juga makan bersama. Sambil menunggu, panitia pun melakukan beberapa persiapan dan dimulailah semua permainan itu. Sambil melihat mereka bermain kuamatii beberapa anak-anak kecil yang sedang bercengkrama di sisi waduk, di tempat yang lain kutemukan seorang wanita yang mengawasi mereka. Sepertinya ia adalah kerabat salahsatu anak kecil yg sedang bermain.

Celoteh riang anak-anak itu mengalihkan pandanganku. Sekarang aku tak lagi terfokus melihat riuh rendah ‘teriakan’ sahabat-sahabatku yang sedang bermain. Aku terdiam, pikiranku mulai melanglangbuana, bertanya apa yang ada dalam pikiran para anak kecil itu. Apakah mereka masih memiliki kepolosan pikiran anak-anak? Apakah mereka masih punya segunung mimpi yang ingin mereka wujudkan? Apakah mereka menikmai petualangan mereka di sebuah desa dengan potensi wisata yang luar biasa? Aku pun berpikir sekreatif apa mereka. Selintiran kabar berkata anak-anak di pedesaan memiliki cara yang berbeda dalam bermain. Mereka selalu menemukan cara untuk bermain. Bahkan pelepah pisang pun bisa disulap menjadi mainan kuda. Apakah mereka pernah membuat yang lebih luar biasa dari itu?

Lintasan masa kecilku tiba-tiba berkelebat. Saat aku masih seumur mereka aku belum bisa berenang, tak seperti mereka yang sudah pandai berenang, (mungkin suatu saat nanti ada salah satu dari mereka yang menjadi atlet renang). Di masa itu mungkin aku pun masih sering bermain, aku masih ingat ketika aku mengikuti kakak laki-lakiku bermain kelereng, aku masih ingat saat aku, teteh, kakak dan adikku main ‘sorodok gaplok’, ‘jeblag panto’, ‘engkle’, ataupun ‘oray-orayan’. Permainan yang saat ini sudah mulai tak terdengar, bahkan mungkin oleh 2 adik terakhirku.

Aku masih berfokus pada anak-anak itu, tingkahnya menyiratkan kesederhanaan pikir mereka. Wajah mereka yang berseri-seri memperlihatkan tak ada beban yang sanggup menghilangkan canda tawa mereka. Kata mereka perlihatkan kepolosan mereka, penyerapan makna disekitar mereka. Mereka yang selalu jadi harapan bangsa.

Pengelanaanku di dunia pikir sana membuatku tak sadar jika waktu bermain telah habis, kumandang azan sudah terdengar di masjid di wilayah itu. Panitia mulai membereskan peralatan dan membagikan hadiah bagi para pemenang. Aku pun beranjak membantu sahabatku membereskan peralatan, lalu bersiap sholat.

Akhirnya acara itu diakhiri oleh rujakan dengan buah-buahan yang dijadikan kado permainan sebelumnya. Di sini suasana kekeluarga semakin terasa. Icip-icip bumbu yang diracik pun terjadi. Menyenangkan. Waktu rujakan tidak lama karena hari semakin sore dan kami harus pulang.

Di perjalanan ada sesal yang terasa. Seharusnya aku mendekati anak-anak kecil tadi, atau mendekati ibu yang mengawasi mereka. Aku akan bisa mengobrol banyak hal dengannya, memberiku wawasan yang baru tentang daerah ini dan bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang impian mereka. Mungkin jika saat itu aku ‘berani’ mendekati mereka dan mengobrol, aku pun akan memiliki banyak kosakata basa sunda, bahasa tanah kelahiranku, Cimahi. Sesal itu memang akan hadir di akhir.

Akhirnya aku hanya bisa berharap, suatu saat nanti aku akan kembali ke sana bercengkrama dengan anak-anak sekitar, mencari tau apa yang mereka pikirkan, dan kan kubuat Indonesia lebih bermartabat, bersama mereka.  Semoga aku masih punya cukup energi untuk menularkan asaku untuk Indonesia pada kalian, agar kita bisa bergerak beriringan hingga tak takut asa ini menciut dan hilang.

-karena Indonesia punya lebih dari cukup (potensi) untuk menjadi negara yang bermartabat-

Soon.., intisari diskusiku dengan seorang sahabat tentang nasionalisme dan negara (bukan versi politik).

Comments

  1. hmm bahasanya indah. harapannya pun begitu :)
    cerita2 ya kalo ketemu..

    ReplyDelete
  2. ga dilanjutin lagi nulisnya bu?

    ReplyDelete
  3. hehe.. sebenarnya ide2 tulisannya udah ada, tapi belum sempet nulis lagi aja..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Belajar dari Masalah

Seringkali kekecewaan menghampiri kita ketika sang harap tak kunjung menjadi nyata. Padahal jika kita memberi sedikit waktu untuk hati dan pikiran kita bekerjasama mencari solusi, maka kecewa itu kan berubah menjadi harap lain untuk dipenuhi. Sebagai analogi saya akan mengambil contoh robot. Sebelumnya kita samakan persepsi ya, apa itu Robot? Robot (menurut saya) adalah suatu rangkaian elektronik yang dirancang oleh manusia menjadi suatu fungsi yang dapat membantu pekerjaan manusia, ini bisa juga diartikan mengabdi. Dengan pengertian seperti ini maka kulkas, radio, komputer dan tv termasuk robot. Sekarang apa itu Manusia? Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah padaNya. Nah dari sisi ini kita bisa melihat adanya kesamaan dalam hubungan manfaat antara manusia dan robot serta manusia dan Allah SWT.

Hayu Naik Kereta

Siang itu di ruang makan rumah eninnya terdengar ramai. Suara kursi digeser serta celoteh anak-anak menggaung. Tak berapa lama kursi telah rapi berjajar dan mereka mulai mengatur siapa dan dimana posisi duduknya. Mereka dengan bersemangat menaikinya dan bernyanyi kereta api. Kreativitasnya siang itu berbekas pada adik pertama Teteh. Ketika Ia di ruang makan dan sedang tak beraktivitas sekonyong konyong Ia menarik kursi sembari berkata 'kereta'. Kreativitas ternyata menular dan mengasikkan.