Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2017

Behind The Story of 'Tantangan Kemandirian'

Bercerita tentang apa yang ada dibalik cerita tantangan kemandirian pernah muncul di beberapa post tentang tantangan itu sendiri. Menjelang tantangan kemandirian, subjek awal kemandirian yaitu anak pertama kami qadarullah masuk rumah sakit. Setelah 2 malam di rumah sakit akhirnya Ia boleh pulang. Pada awalnya saya tak ingin menjadikannya alasan untuk tidak memulai tantangan. Namun, fokus saya terpecah, terlebih beberapa hari kemudian ayahnya harus dinas ke luar kota. Walhasil tak ada teman berbagi peran untuk mengawasi Sulung selama masa pemulihannya. Seminggu setelah keluar rumah sakit akhirnya Sulung mulai tak betah jika tak aktif beraktivitas seperti sediakala. Meski masih dibatasi pergerakannya untuk hal-hal ringan dalam kerangka membantu bundanya saya pada akhirnya membiarkannya. Lama kelamaan banyak aktivitas yang dulu masih sebatas pengenalan kemandirian mulai ia kerjakan. Meski masih belum konsisten. Batas minimum 10 hari tantangan akhirnya terlewati. Banyak yang perlu dieval

Mengotakkan Mainan

Mengutip cara Bu Septi dalam memandirikan anaknya dalam hal membereskan mainan mengotakkan mainan menjadi alah satu poin penting. Apa maksudnya mengotakkan mainan? Maksudnya mainan disimpan ke kotak-kotak (atau toples) mainan. Tiap kotak dapat dimainkan ketika tak ada kotak mainan yang terbuka dan kosong. Jika anak ingin memainkan mainan di kotak lain maka Ia perlu mengembalikan dulu mainan yang sebelumnya Ia gunakan. Tak ada penjelasan lebih lanjut terkait kategorisasi tiap kotak mainan yang diterapkan Bu Septi. Jadi rasanya menarik jika 1 kotak mainan berasal dari kategori yang berbeda. Misal, 1 kotak berisi lego dan boneka atau pensil warna. Siapa tahu dengan dicampurnya kategorisasi itu menjadikannya lebih kreatif memainkan mainan dalam 1 kotak mainan itu. Apakah sudah dicoba mengotakkan mainan dengan tema yang berbeda? Jujur belum. Bahkan mengotakkan mainannya pun belum. Saat ini mainan dan buku hanya disimpan di rak dan excel dan sekitar kedua tempat itu. Tak berkotak namun mas

Membereskan Mainan part 2

Ketika Ia menolak membereskan mainannya karena kelelahan seringkali pada akhirnya saya tawari bantuan. Namun bantuan ini tetap bersyarat. Syaratnya adalah Ia tetap berperan aktif membereskan mainan. Alhamdulillah sampai saat ini cara ini cukup efektif mengatasi penolakannya dalam membereskan mainan. Meski ketika kelelahannya masih memuncak (seperti ketika Ia baru bangun tidur setelah lelah bermain) mungkin keproaktifannya tak sebaik ketika Ia full of power. Memintanya untuk segera membereskannya sesaat setelah memainkannya memang belum menjadi fokus kami. Mungkin anggapan bundanya bahwa Ia belum tentu sudah puas bermain (meski Ia sudah tinggalkan mainannya saat itu) perlu dirubah.

Menyimpan Kembali Mainan

Membaca metode Bu Septi untuk memandirikan anaknya dalam membereskan mainan menjadi salah satu inspirasi kami. Saat ini di usianya yang hampir 4 tahun, daya eksplorasinya kian bertambah. Memberantakan mainan miliknya untuk bermain semuanya sekaligus tak terhitung frekuensinya. Pada awalnya saya tak berpikir panjang langsung membereskannya. Namun, belakangan saya tau, ketika ini dilakukan sense membereskan mainannya sendiri akan hilang secara perlahan. Karena perlahan tapi pasti dalam benaknya tertanam bahwa mainannya akan beres tanpa perlu Ia turun tangan. Sesuatu hal yang tentu menjadi mimpi buruk bagi hampir semua orangtua. Ketika anak merasa tak perlu membereakan 'kekacauan' yang dibuatnya. Entah sejak kapan kami mencoba menertibkannya dengan cara Bu Septi. ia boleh memainkan mainan yang lain ketika mainan yang sebelumnya Ia pakai dikembalikan ke tempatnya terlebih dahulu. Alhamdulillah Ia manut. Tinggal konsistensi kami mengaplikasikan peraturan ini. Karena jujur kami ser

Pengakuan (Apresiasi) dalam Kemandirian

Seorang manusia tentu tak bisa lepas dari egonya. Begitupun seorang anak. Ia selalu ingin menjadi orang yang terdepan, paling bisa mengerjakan sesuatu yang diminta padanya. Seorang anak ingin selalu mendapat pengakuan atas kebaikan yang dikerjakannya. Jika hal ini tak terpenuhi, siap-siap mendapati Ia mutung di tengah masa Ia mulai mencoba konsisten mengerjakan kebaikan. Saya berusaha membeikan apresiasi pada anak ketika Ia telah berhasil melakukan sesuatu. Apapun, jika hal itu bukan melakukan hal yang terlarang yang membahayakan jiwa dan raganya. Saya mencoba apresiasi tindakannya mencuci piring sendiri. Saya pun apresiasi Ia ketika Ia berhasil memakai bajunya sendiri. Hal ini selalu membuatnya tersenyum, entah dengam tersipu atau lebar. Ayahnya saat ini mendukung upaya apresiasi ini dengan bentuk reward. Ketika Ia berhasil mengerjakan sesuatu maka Ia akan mendapatkan hadiah. Di titik kritis ini menjadi kartu sakti. Ia menjadi tambah sumringah untuk mengerjakannya. Hari-hari memant

Menemaninya Sepenuh Hati Sebelum Memandirikannya

Rasa disayangi tentu perlu. Ianya menjadi bahan bakar bagi para anak ketika ingin mengerjakan seauatu. Teringat sebuah cerita yang aempat singgah di newsfeed FB. Seorang teman memiliki seorang putri yang keberatan ketika diminta membantu namun Ia dengan senang hati mengerjakan pekerjaan rumah ketika tujuannya menyenangkan bundanya. Ketika berdasarkan emosi positif seorang anak bisa mengerjakan sesuatu yang biasanya Ia tolak. Maka membangun emosi dengan anak rasanya akan menjadi penting ketika kami ingin anak kami mandiri. Jangan sampai poin kemandirian yang kami ingin terapkan menjadi beban bagi anak. Kemudian pada masa tertentu Ia mutung untuk mandiri. Membangun emosi positif, membangun rasa dicintai pada anak rasanya akan efektif ketika kami mulai sering menemaninya beraktivitas seperti ketika Ia bermain. Saat ini kami berusaha semaksimal mungkin menjadi patner bermainnya. Agar ketika Ia merasa telah terpenuhi rasa cintanya Ia pun akan mencurahkan cintanya pada orangtua, saudara dan

Memakai Pakaian Sendiri

Anak pertama kami 3 bulan lagi menginjak umur 4 tahun. Namun krmandiriannya menggunakan pakaian sendiri masih belum konsisten Ia tampilkan. Pada satu kesempatan tanpa diminta Ia segera menggunakan bajunya sendiri. Tapi di lain waktu Ia akan merengek meminta dipakaikan baju. Sejak sebelum adiknya lahir, saya selalu mengafirmasi dirinya bahwa Ia perlu untuk memakai baju sendiri agar Ia kelak bisa membantu adiknya memakai pakaian. Pada awalnya ini efektif, namun ketika adiknya lahir Ia kembali mundur. Seringkali, Ia sengaja merengek untuk dipakaikan bajunya. Saya rasa ini bentuk capernya ketika adiknya sudah lahir. Hal ini kemudian jadi pertanyaan pada diri saya, 'apakah Ia merasa kurang diperhatikan ketika adiknya sudah lahir?' Tambahan peer bagi saya jika iya. Nampaknya saya harus penuhi dulu rasa dicintai pada diri Sulung. Mungkin ini poinnya.

Mencuci Piring Part 2

Setelah hari sebelumnya Ia keukeuh ingin cuci piring. Hari ini dia masih dengan ke keukeuh annya. Sebelum bundanya mulai melarang, Ia sudah berdiri di dekat sink dan menarik laci tangganya sendiri. Tanpa lama berpikir Ia menaiki tangganya dan mulai memilah mana yang Ia bisa cuci sendiri. Sebelum agenda mencuci berakhir dengan baju yang basah saya pun membatasai sink dan dirinya dengan lap. Fungsinya agar air yang terbawa dari keran melalui tangannya terserap lap yang saya simpan di 'keramik perbatasan' antara Ia dan sink. Agenda cuci piringnya tak lama, karena memang saat itu tersisa sedikit cucian piring. Sebagian di antaranya memang termasuk yang bisa Ia taklukkan. Setelah puas mencuci piring Ia kembali bermain seperti sedia kala. Sebelum Ia bermain saya sempatkan bertanya keadaan bajunya. Basahkah? Alhamdulillah hanya terciprat sedikit. Menyimpan lap di perbatasan nampaknya cukup efektif. Alhamdulillah.. Menyediakan tangga untuknya membuat Ia makin semangat mencuci piring

Mencuci Piring Sendiri

Kami sepakat, ketika kami akan melengkapi rumah kami dengan kitchen set, akan menambahkan tangga geser untuk anak agar dapat mencuci piring atau tangannya sendiri. Agar ia lebih mandiri. Ketika akhirnya dana sudah mencukupi, alhamdulillah tangga ini berhasil direalisasikan berupa tangga geser di bawah sink. Belum lama anak sulung kami keluar dari rumah sakit, mungkin Ia gatal untuk beraktivitas seperti biasa. Berlarian, melompat, dsb. Namun merujuk dari saran dokter, kami pun melarang ia melakukan kegiatan itu. Satu hal yang kami tak ingin melarangnya, keinginannya menjadi bagian untuk membantu kami. Hari itu, ketika saya sedang memasak, tiba-tiba saja Ia menghampiri, berujar bahwa Ia ingin membantu memasak. Namun, sepersekian detik kemudian Ia menoleh pada sink yang posisinya tentu tak jauh dari kompor. Lalu dengan mantap Ia menghampiri dan berkata, "Bunda, Aku bantu cuci piring saja." Saya pun pasrah mengangguk, dengan syarat Ia harus melipat lengan bajunya terlebih d

Mandiri vs Kepercayaan Berlebihan

Memandirikan anak menjadi 1 dari sekian poin dalam mendidik anak untuk sampai pada titik aqil baligh nanti. Mandiri tak akan pernah berhasil jika kita pun tak memberikan kepercayaan penuh pada anak. Qadarullah, kamis tanggal 30 November yang lalu ketika tantangan kemandirian dimulai, kami ditegur olehNya. Anak sulung kami jatuh dari ketinggian. Alhamdulillah cedera yg terlihat masih dalam taraf tak begitu mengkhawatirkan. Ia masih tetap sadar dan sesekali ceria meski sesekali meronta jika dokter atau suster menghampiri. Meski bisa dibilang tak begitu mengkhawatirkan ada momen-momen dimana kamis itu kami panik, bingung dan lemas. Oke, cukup ceritanya mari back to topic. Kepercayaan pada anak, tetap perlu mendapatkan perhatian. Tetap perlu diawasi. Hasil refleksi kami, orangtuanya, nampaknya kejadian ini semacam teguran pada kami, ketika kami terlalu percaya dan yakin bahwa anak kami sudah tau mana yang berbahaya dan mana yang tidak (sebelum kejadian ayahnya berulang kali mengingatkan