Suatu hari peradaban menepuk pundakku. Aku menoleh padanya. Kupandangi ia, wajahnya terlihat lesu, lelah, dan entah mengapa terlihat tirus. Aku terkejut, tak biasanya peradaban datang menghampiriku dengan wajah seperti itu. Biasanya ia datang dengan ceria serta membawa berbagai cerita. Ceritanya selalu membawaku melanglangbuana ke seluruh penjuru negeri. Setelah perjalanan itu biasanya aku tersipu, aku belum jadi apa-apa.
Suasana masih hening hingga satu kalimat keluar dari mulutnya. 'aku lelah may.., saaangaat lelah'. Aku semakin terkejut, sungguh hal yang tak biasa ia berkata seperti itu. Aku pun membenarkan posisi dudukku, sekarang aku bisa melihat jelas dirinya. Aku bisa melihat gurat kelelahan itu dengan lebih jelas. Ah.., aku semakin tak tega melihatnya. Menyadari aku mulai tertarik dengna ucapannya barusan, mulutnya mulai terbuka, lalu berucap 'bolehkah aku bercerita may'. Aku mengangguk, tak mungkin kubiarkan dirinya terdiam lebih lama, pasti ia memiliki banyak cerita berhikmah.
Ia menarik napas panjang lalu mulai bercerita, 'Dulu saat aku masih pemula sebagai peradaban, aku disuguhi celoteh kanak-kanak. Mereka sungguh riang sekali. Mereka selalu bercerita padaku tentang alam, juga mengajakku melanglangbuana dalam mimpi-mimpi mereka. lalu.., ketika mereka beranjak remaja mereka tak hanya memendam mimpi mereka. Mereka bergerak, mencari apa yang mereka butuhkan, mereka pun tak lupa menceritakan apa yang mereka temukan padaku. Gara-gara itu aku pun semakin tau dan aku semakin tumbuh membesar, aku menjadi tak asing bagi orang-orang disekitar mereka. Terlebih ketika mereka dewasa, semakin menjadilah segala mimpi mereka. Mimpi mereka tentangku tersokong penuh oleh ilmu yang mereka cari.' Ia menghela nafas, lalu kembali bercerita 'Sekarang aku sulit sekali menemukan orang seperti mereka. Aku harus berlari kesana kemari mencari mereka. Aku akhirnya mengurus, ilmuku tak lagi bertambah, bahkan terkesan usang. Gara-gara inilah aku akhirnya tak lagi dikenal, malah kerlipku hilang ditelan gelapnya sang musuh abadi.' Ia pun terdiam, mungkin kembali menerawang masa-masanya dahulu.
Aku pun ikut terdiam memaknai semua katanya. Ah.., seperti itukah kami sekarang. Tak lagi memiliki tujuan yang jelas juga tak didasari prinsip yang benar. Rasanya jika tak menyadari aku sedang berbincang dengannya air mataku sudah tumpah ruah. Aku menghela napas, berusaha membesarkan hatiku, lalu bertanya, 'seperti itukah kami sekarang?' dia mengangguk 'ya, begitulah. Tapi ketika aku menemukan sang asa baru diantara kalian, aku dapat menyerap lebih banyak ilmu dibanding saat dahulu, mungkin karena aku sudah kurus.' Ia terkekeh. Aku tersenyum, ya mungkin begitu layaknya spons kering yang menarik banyak air ketika dicelupkan. 'Hanya sayang may, aku dengan mudah kurus kembali, energiku terkuras habis untuk mencari asa lain' lanjutnya lagi. Aku kembali terdiam, hening cukup lama dan berkata, 'Tak adakah yang bisa kami lakukan kawan?' Senyumnya terkembang, 'Tentu saja ada, taukah kau mengapa dulu aku berkembang dengan mudah sedang sekarang tidak?' Aku menggeleng 'Baiklah, dulu aku menemukan banyak asa. Mereka berkumpul bersama anak-anak, remaja maupun tetua. Mereka dengan mudah memberi dan menyemangati, mereka pun yakin dengan akar dan pondasi yang mereka punya, hingga mereka pun mengerti siapa aku. Sekarang, tak banyak yang mengerti dan paham siapa aku, seringkali aku tertukar dengan musuhku. oya kau tau siapa musuhku?' Aku kembali menggeleng. 'Kau boleh menyebutnya kebiadaban, boleh pula menyebutnya tak bernorma, atau apapun mereka.' Aku mengangguk, mulai mengerti arah pembicaraannya. 'Sekarang ini jika aku menemukan asa-asa itu diantara kalian, maka aku pun bisa menemukan banyak kronco-kronco musuhku, berkali-kali lipat. Ini membuat asa kalian kembali menciut, lalu hanya menggumamkan mimpinya untuk dirinya atau orang-orang yang mengerti aku. Padahal jika saja kalian dan asa kalian berani untuk berujar, mencari lebih banyak lagi asa, maka aku akan kembali hidup berdampingan bersama, dan orang-orang disekitar kalian tak lagi asing denganku.' Aku mengangguk-angguk.
Tiba-tiba saja kumandang adzan terdengar, dan aku terbangun. Peradaban telah pergi. Aku terdiam, mengingat semua cakapku bersama peradaban. Aku tersenyum, peradaban sudah seharusnya kembali, karena kini sang asa telah menjamur di pelosok negeri. Meski sang lawan masih bergerombol, aku yakin kami akan menang....
Keep Spirit Guys... Jadilah bagian dari peradaban bukan kebiadaban. Karena peradaban selalu berarti hal yang baik...
per-adab-an
ReplyDeletenah klo biadab= bi-adab,,
jadi adabnya ada 2..
ga jelas siy benernya ni mah, heu,, sip lah, yang penting mah, lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.. lebih baik berbuat sedikit untuk peradaban daripada terus menerus mengutuk kebiadaban
yup.. sepakat.
ReplyDeletesyukron kunjungannya dan komennya.