Skip to main content

Andaikan Aku Punya Sayap

Hari sudah siang, namun matahari mulai meredup, sang awan gelap mengintainya siang ini. Dengan seringainya,, ia bersiap untuk memuntahkan semua air yang berhasil diserapnya beberapa waktu sebelumnya. Si merah yang lama bertengger di depan rumah pun telah berpindah posisi, ia menegakkan diri untuk dinaiki pemiliknya, adikku yang pertama. Aku mengikutinya dari belakang seraya menutup pagar dan memasangkan helm biru yang baru saja dibelinya beberapa hari lalu. Helm lamanya, yang telah berganti dengan helm lain, hilang saat ia ‘ngampus’.

Si merah sudah berdehem ketika aku menutup pintu. Ia dikomando untuk memanaskan badannya untuk beberapa saat. Tak lama aku telah menaikinya diiringi deruman mesin yang bersemangat. Si merah pun melaju menuju salah satu masjid di Bandung, tempatku akan menemui patnerku dan mengikuti kajian islam rutin alias halaqah. Setengah perjalanan belum genap dilalui, namun,
awan sudah tak bersahabat lagi, ia mulai menurunkan ribuan prajuritnya. Serangan mendadak ini membuat adikku menepi, dan berteduh, karena ponco sudah lama tak tinggal di bagasi si merah, bukan karena si merah menolaknya, tapi ponco lebih senang berkelana di luar sana. Hehe.

Aku terduduk beberapa saat lalu bergerak menyisir sisi-sisi pos yang kusinggahi. Awan masih berseringai, hingga kurasa prajurit awan itu tak akan segera berhenti. Kualihkan pandanganku ke tas hitam yang kubawa, kuambil Quran berselimutkan kulit sintesis hitam darinya. Kubuka lembaran-lembaran kitab yang telah kusimpan di tas mungilku itu. Tak sampai 2 lembar kutamatkan bacaannya, adikku mengajakku untuk beranjak, karena prajurit awan itu meramah, ia tak lagi turun dengan ribuan konconya.

Adikku kembali menyalakan si Merah. Si Merah kembali menemukan ritmenya sampai awan kembali menurunkan prajurit yang lebih banyak dari sebelumnya kukira. Dengan sedikit berteriak, aku meminta segera menepi, aku tak mau baju kami disinggahi prajurit-prajurit itu, bisa panjang urusannya. Perhentian kali ini ternyata sudah dipenuhi peneduh lain, hingga tak sempat lagi kami untuk memilih tempat yang nyaman untuk berteduh sambil duduk santai. Sambil menunggu kulihat sekitar, jalan tak seramai biasanya, mungkin prajurit awan telah mengurungkan niat pemilik kendaraan di daerah itu untuk keluar. Ia tak hanya membasahi jalanan namun juga membawa serta dingin.

Awan mulai melunak, ia tak lagi buas menurunkan anak buahnya. Adikku menghampiri si merah, memastikan kami bisa menembus prajurit-prajurit yang merintik itu. Tak ada masalah, kami bisa menaiki si merah dan melanjutkan perjalanan. Ia mulai melaju dengan prima, sampai ia dikejutkan sang lubang dalam di depannya (sesuatu menghalanginya sebelumnya). Sepersekian detik adikku dengan semua pengalamannya dihadapkan pada pilihan dilematis kurasa. Ia harus memilih menghentikan tiba-tiba si merah, dengan kemungkinan si merah akan terjatuh dan kami terpental, atau ia tetap melajukan si merah dengan asumsi aku dan dirinya berpegangan erat pada si merah.

Sepersekian detik itu dramatis menurutku. Tanganku yang berpegangan erat pada si merah ‘dilepas’ paksa oleh lubang dalam itu. Ia menghentakkan si merah dengan sangat kuat hingga tanganku tak lagi bisa memegangnya. Dengan kecepatan yang tak menurun sama sekali, menurunkan kesempatanku untuk kembali menduduki si merah dengan selamat dan memegang erat dirinya. Kepasrahan itu akhirnya hadir.., dengan alunan angin, badanku menyentuh aspal. Aku tak ingat bagaimana aku menyentuh tanah.., yang jelas aku merasakan berguling beberapa kali sebelum tangan dan kakiku menyentuh aspal dan bergesekan dengannya. Aku berharap berhenti saat itu juga.., aku meneriakkannya berkali-kali dalam hati namun nampaknya energi potensial dari kecepatan motor dan hentakan lubang tadi masih enggan meninggalkanku. Aku terus terseret hingga kaca helm yang kupakai terbelah, dan sinar masuk melalui celahnya.

Aku masih membuka mataku sampai energi potensial itu terkuras habis oleh gaya beratku. Aku berhenti. Dengan tenaga yang masih ada aku mendudukan tubuhku, disaat itulah kulihat kelebat hitam jatuh dari dahi kiriku, aku belum yakin apa itu. Aku terlalu lelah untuk memastikannya. Deruman motor kemudian berhenti tak jauh di tempatku terduduk, pengendara motor yang berada di belakangku berhenti menepi. Menanyakan keadaanku dan membuka helm yang terbelah, ia berteriak kaget. ‘Astaghfirullahal’adzim, darah..’ Ia menarik tanganku, agar aku berdiri dan menepi, tapi aku hanya berkata ‘bentar pa’, entah karena shock entah karena energi yang terkuras habis, aku masih berdiam. Darah tampaknya masih mengalir dari dahi dan menghampiri mata kiriku, aku kaget hingga kupejamkan mata kiriku. Dalam keadaan masih mengumpulkan tenaga, adikku menghampiriku, menanyakan kabarku, dan menelan teguran dari pengendara tadi, lalu beranjak. Pengendara itu kembali memintaku berdiri dan menepi. Dengan tenaga yang tersisa aku berdiri, aku merasakan hal yang aneh dengan kakiku, sepatu kiriku terlepas. Aku celingukan beberapa saat. Pengendara yang memapahku kemudian menyadari, dan berkata ‘sepatunya lagi diambil’ dan terus memapahku menuju toko kecil di sebrang TKP, dan meminta penjaganya memberikan aqua untuk membersihkan lukaku. Entah sejak kapan, adikku telah berada di dekatku lagi.., dengan sigap ia buka aqua itu dan mengalirkannya di dahiku. Mataku masih terpejam dan air membasahi wajahku, hingga kuminta ia membelikan tisu untuk mengeringkannya. Lalu kukejap-kejapkan mata kiriku, memastikan semua baik-baik saja.

Belum setengah jam aku berdiri, namun Bumi seolah memutariku, aku mulai kehilangan keseimbangan. Cara yang ampuh buatku untuk menghilangkannya adalah duduk. Duduk membuat tubuhku memiliki waktu untuk bernapas lebih dalam, mengambil oksigen sebanyaknya, lalu menyebarkannya ke seluruh tubuh dengan bantuan darah. Aku menoleh sekitar dan menemukan kursi bambu tak jauh dari toko itu, setelah meminta izin pada penjaga toko, aku menghampirinya dan duduk. Adikku mengekor dari belakang, mungkin ia merasa bertanggungjawab atas kejadian yang baru saja terjadi. Padahal, aku tak menyalahkannya. Mungkin sudah waktunya aku merasakan ‘terbang’ dari motor. Dalam diam, aku teringat salahsatu mimpiku, yaitu terbang di langit, merasakan angin menyentuhku. Aku tak menyangka mimpi itu sedikit terwujud dalam ala yang tak pernah ingin kurasakan, terbang dari jarak tak lebih dari 1 meter.

Dalam diam aku tersadar si merah masih teronggok di sebrang tanpa pengawasan, adikku masih membantuku membersihkan luka di dahiku. Aku tak ingin si merah hilang hanya gara-gara adikku membantuku membersihkan lukaku, hingga kuminta ia segera memarkirkan si merah dekat toko agar mudah untuk mengawasi.

Duduk rupanya tak langsung membuatku segar kembali, aku masih merasa kepalaku berputar, malah kali ini lebih pusing, bahkan aku merasa mual, aku merasa akan pingsan. Beberapa kali terbersit niat untuk berbuka saja, namun aku tak tega, waktu berbuka tidak terlalu lama, dan aku masih berpikir pusing itu muncul karena oksigen yang masuk belum cukup. Aku mulai mengatur napas dan menyenderkan badan di kursi bambu itu. Dengan lambat, sangat lambat bahkan, pusingku mulai berkurang.
Butuh beberapa menit sampai kuputuskan aku siap naik motor lagi.., tapi bukan ke arah yang sama dengan sebelumnya, aku harus pulang. Bajuku terlanjur kotor, kerudungku pun begitu. Selain itu luka-luka yang ada di tangan, kaki dan dahi belum diobati sepenuhnya. Aku harus pulang. Aku berpikir untuk langsung menghubungi patnerku, namun kuurungkan niatku, masih ada sisa-sisa pusing di kepalaku.

(based on true story)

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Masalah

Seringkali kekecewaan menghampiri kita ketika sang harap tak kunjung menjadi nyata. Padahal jika kita memberi sedikit waktu untuk hati dan pikiran kita bekerjasama mencari solusi, maka kecewa itu kan berubah menjadi harap lain untuk dipenuhi. Sebagai analogi saya akan mengambil contoh robot. Sebelumnya kita samakan persepsi ya, apa itu Robot? Robot (menurut saya) adalah suatu rangkaian elektronik yang dirancang oleh manusia menjadi suatu fungsi yang dapat membantu pekerjaan manusia, ini bisa juga diartikan mengabdi. Dengan pengertian seperti ini maka kulkas, radio, komputer dan tv termasuk robot. Sekarang apa itu Manusia? Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah padaNya. Nah dari sisi ini kita bisa melihat adanya kesamaan dalam hubungan manfaat antara manusia dan robot serta manusia dan Allah SWT.

Hayu Naik Kereta

Siang itu di ruang makan rumah eninnya terdengar ramai. Suara kursi digeser serta celoteh anak-anak menggaung. Tak berapa lama kursi telah rapi berjajar dan mereka mulai mengatur siapa dan dimana posisi duduknya. Mereka dengan bersemangat menaikinya dan bernyanyi kereta api. Kreativitasnya siang itu berbekas pada adik pertama Teteh. Ketika Ia di ruang makan dan sedang tak beraktivitas sekonyong konyong Ia menarik kursi sembari berkata 'kereta'. Kreativitas ternyata menular dan mengasikkan.